Tsunami dan Ingatan Aceh Sebagai Donya

Ingatan yang paling baik tentang tsunami adalah, telah menghentikan perang puluhan tahun antar manusia di Aceh. Dia hadir persis ketika di puncak penderitaannya, manusia masih saja enggan dan tidak mau berhenti untuk saling membunuh. Tsunami datang untuk menghentikan itu dengan caranya sendiri, di luar kuasa manusia, sehingga ada yang harus terenggut dan terambil oleh gelombang besar ini, mereka yang terenggut dan terambil oleh tsunami adalah orang-orang baik yang terhormat dan bermartabat.

Manusia tidak kuasa melawan alam, sehingga akhirnya harus menyerah dan menghentikan segala pertikaian. Alam memberikan penanda penting bagi Aceh, bahwa manusia tidak perlu sombong dengan menunjukkan kuasa bisa saling membunuh, bahkan dengan cara-cara yang paling keji, alam pun bisa melakukan lebih dari itu, alam bisa merenggut kehidupan melebihi kehidupan yang direnggut oleh manusia. Jika manusia saling merenggut kehidupan selama puluhan tahun, maka alam melalui gelombang besarnya hanya butuh sekejap saja untuk merenggut kehidupan secara massal.

Kedahsyatan alam akhirnya menyadarkan manusia, bahwa mereka hanyalah debu, kerdil dan kecil di hadapan yang Maha Kuasa. Kita segera tersadar bahwa setelah tsunami, kita adalah bangsa yang ditakdirkan berada di daerah titik bencana yang bisa datang kapan saja, sehingga kewaspadaan kita belum berakhir, derita kita belum berakhir sehingga harus terus mempersiapkan kapasitas pengetahuan, teknologi dan spiritualitas kita untuk menghadapi segala bencana.

Sebelum tsunami datang, hari-hari di Aceh adalah derita, kecemasan dan kesuraman. Melewati hidup dalam genggaman darurat militer, darurat sipil, seolah tidak tahu kapan akan berakhir segala derita jiwa dan raga. Saat itu orang Aceh harus menjalani hidup tanpa kedaulatan sebagai manusia, karena kedaulatan telah beralih ke ujung senjata. Di titik ini, Aceh kemudian kembali diuji dengan hadirnya kiamat di depan mata, air yang menjadi gelombang besar dan menerjang daratan adalah kiamat dahsyat yang tidak akan mungkin bisa dilupakan begitu saja.

Manusia pada saat itu hanya bisa saling memikirkan nasibnya sendiri, tidak punya kuasa untuk saling menolong yang lainnya secara sempurna. Saya sendiri lansung mengalami bagaimana manusia saat itu benar-benar lemah dan hanya bisa berdoa bahwa ada kehidupan baru setelah peristiwa ini. Akhirnya cahaya untuk Aceh itu benar-benar hadir memadamkan segala kegelapan untuk hidup normal sebagai manusia, tsunami memaksa kedua belah pihak yang bertikai untuk berdamai dan berakhirlah perang besar.

Ingatan Itu

Ketika tsunami terjadi, saya berada di Lamteumen, Banda Aceh. Saya selamat dari tsunami setelah menaiki sebuah mobil double cabin, saat itu mobi tersebut sedang berada dalam pekarangan rumah sang pemilik, dari dalam pekarangan, sang pemilik mobil tersebut berteriak “Tidak boleh naik mobil ini”, ketika pintu gerbang dibuka dan dia memundurkan mobilnya ke jalan, sayapun berteriak “Ayo naik”, akhirnya semua pun berebutan naik, total kami di bak belakang itu berjumlah 25, kapasitas yang tidak normal lagi, jangan tanya apa itu mungkin atau tidak. Sang pemilik mobil tidak bisa lagi mencegah, karena dia pun harus terus memacu mobilnya agar terhindar dari terjangan air besar yang sedang bergerak ke arah kami.

Mobil tersebut terus dipacu dengan kencang, namun hanya hitungan beberapa meter, gelombang air pun menghantam kami, mobil kami segera terangkat ke atas, air langsung meninggi, saat mobil setengah mengapung, kami ternyata sudah berada di atap lantai dua sebuah rumah, artinya air sudah setinggi rumah dua tingkat, kami segera berpegangan pada kabel dan naik keatas atap tersebut, mobil yang kami tumpangi tersebut perlahan tenggelam dan satu keluarga pemilik mobil tersebut semuanya meninggal karena sekali pun kaca bisa terbuka, namun air telah duluan masuk dan pintu tetap terkunci.

Di atas atap rumah, kami tidak bisa lagi menghitung berapa lagi gempa-gempa yang terjadi, karena gempa bukan lagi hitungan menit tapi sudah hitungan detik. Di depan kami hanya ada pemandangan lautan, apa pun yang dipandang adalah lautan air. Tidak ada kehidupan sama sekali. Pulau sabang pun tidak tampak seperti biasanya, saat itu saya berpikir bahwa pulau Sabang sudah tenggelam dan menghantarkan airnya ke daratan, saya pasrah dan ikhlas seandainya Sabang sudah tenggelam.

Silaturahmi dalam kesedihan terjadi di atap rumah tersebut, di situ saya berjumpa dengan orang yang terdampar dari segala penjuru dengan kondisi yang sangat mengenaskan, antara hidup dan mati, ada yang pergelangan tangannya hampir putus akibat terkena seng dan kemudian meninggal di hadapan saya, ada lelaki yang hanya mengenakan celana dalam dengan luka disekujur tubuhnya, dia meminta tolong, namun kami tidak tahu apanya yang harus ditolong.

Saat itu seorang perempuan muda yang juga terdampar di atap rumah tersebut dan tidak terluka berteriak histeris : “Tidak ada gunanya lagi saya hidup, saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi, saya sudah tidak punya apa-apa lagi”, setelah itu dia langsung melemparkan sebuah HP yang bisa diselamatkannya ke lautan air, saat itu saya hanya berkata singkat: “Kamu masih hidup, itu yang kamu punya”, saat itu tidak mungkin memberikan tausiyah atau pun motivasi kepadanya karena saya sendiri pun berada dalam posisi antara hidup dan mati.

Setelah sekian lama berada di atas atap, air pun perlahan-lahan surut, saya bersama beberapa orang teman, termasuk calon istri saya (sekarang istri saya), turun dari rumah, saat itu air sudah surut dan tinggal setinggi lutut, kami berjalan menuju jalan raya, tujuan kami satu, ke tempat yang lebih tinggi dan itu adalah Mata Ie. Saat itu kami berpikir, kalau air laut naik lagi, dan air itu sampai ke Mata Ie maka selesailah semua kehidupan.

Setelah turun dari rumah dan menjejakkan kaki di tanah, saya segera menginjak mayat, begitu juga ketika melangkahkan kaki berikutnya, saya juga menginjak mayat, artinya, ada banyak mayat terbenam di air, akhirnya saya berkata “maafkan saya ya”, setiap saya menginjak mayat. Kami pun terus berjalan menuju simpang Dodik, Simpang Empat.

Ketika sampai di Simpang Dodik, saat itulah saya melihat pemandangan paling dramatis dalam hidup dan saya berdoa untuk tidak mengalami lagi pemandangan seperti itu seumur hidup saya. Di pinggir jalan, di setiap trotoar ada banyak manusia-manusia yang sekarat, berteriak minta tolong, namun kita tidak tahu membantu dengan apa, karena yang sangat dibutuhkan pada saat itu adalah medis, banyak saya jumpai mereka berteriak minta tolong, tetapi sejurus kemudian meninggal, tanpa ada pertolongan sama sekali. Yang paling menyakitkan kami adalah ketika kami sudah berada di trotoar jalan yang tidak terjamah air dan air sudah benar-benar surut, tiba-tiba terdengar teriakan “Air laut naik lagi, air laut naik lagi… sehinga semua pun berhamburan, dan kami memilih lari menuju Mata Ie, berlari dan menumpang mobil siapa saja yang menuju Mata Ie, saking paniknya bahkan ada warga yang sebenarnya ingin berlari mejauh dari laut, tetapi dia justru berlari ke arah laut.

Keesokan harinya kami tahu bahwa, teriakan tadi dilakukan oleh orang-orang yang ingin menjarah dengan leluasa apa pun yang tersisa di bangunan ruko maupun rumah, baik emas, uang dan lainnya. Begitulah, dalam musibah pun masih ada manusia-manusia yang akalnya tidak dipakai untuk menolong, tetapi dipakai untuk menjarah.

Setelah bermalam di mata Ie, di hari ketiga tsunami, kami memutuskan menuju Bandara Blang Bintang untuk terbang ke Medan, karena saat itu sudah massif sekali kabar bahwa akan terjadi wabah penyakit yang besar dan sangat berbahaya di Banda Aceh akibat jenazah-jenazah yang belum dikuburkan. Kami memutuskan berjalan kaki dari Beurawee menuju bandara Sultan Iskandar Muda, jika ada tumpangan mobil di jalan maka kami akan menumpang mobil dan kebetulan ada mobil yang bersedia membawa kami ke bandara, akhirnya kami sampai di bandara.

Di sini, kami menunggu pesawat yang bisa menerbangkan kami ke Medan, dan pesawat itu adalah Hercules. Setelah dua hari bermalam di bandara, keesokan harinya kami nekat menerobos masuk ke pesawat karena saat itu tidak diizinkan oleh petugas, karena pesawat disiapkan untuk orang-orang tertentu yang sudah diatur petugas. Beberapa petugas mengacungkan tinju ke arah kami jika kami berani menerobos barikade yang mereka buat, saat itu kami sudah nekat, berkelahi pun boleh, asal bisa naik ke pesawat Hercules. Akhirnya barikade itu pun tembus dan petugas tidak bisa berbuat banyak, akhirnya kami sampai ke dalam Hercules dan itu adalah pengalaman seumur hidup naik Hercules dengan melantai persis seperti ayam potong yang dibawa dengan pesawat.

Ingatan Sebagai Donya

Segala ketertutupan dan keterisolasian Aceh akibat konflik segera terbuka paska tsunami. Bencana tsunami Aceh bukanlah bencana daerah, apalagi bencana nasional, tapi bencana dunia sehingga berbagai negara, berbagai agama, berbagai suku bangsa masuk ke Aceh dan memberikan bantuan untuk Aceh. Saat itu, derita Aceh tidak mungkin bisa dibantu oleh orang Aceh sendiri, tetapi harus dibantu oleh orang lain dan orang-orang tersebut adalah orang “Ban sigom donya”. Derita Aceh segera dirasakan oleh orang-orang donya, bahwa ada persoalan kemanusiaan serius di Aceh yang harus dibantu, murni persoalan kemanusiaan, saat itu Aceh menerima semua kebaikan masyarakat donya tersebut.

Anak-anak Kristen, anak-anak Budha, anak-anak Kong Huchu dan berbagai agama lainya menyisihkan uang jajan mereka untuk membantu teman-teman seusia mereka yang ada di Aceh. Saat itu Aceh yang terisolir segera menjadi “gampong donya” atau sering disebut dengan “gampong global”, beragam manusia tumpah ruah ke Aceh. Momen ini sebenanrya adalah momen penting bagi Aceh untuk mempersiapkan diri menjadi bagian dari donya dengan sebenarnya, bukan kamuflase. Saat itu kita tahu bagaimana berhubungan dengan manusia yang tidak lagi kita lihat sebagai agama, suka, ras, warna kulit tetapi murni sebagai manusia yang baik dan berbuat kebaikan di Aceh. Sekarang, spirit itu semakin luntur seiring perjalanan waktu.

Salah satu mental sebagai donya itu adalah tahu berterima kasih dan bangsa Aceh sudah melakukan itu dengan membuat Monumen “Thanks To The World” di lapangan Blang Padang. Monumen ini adalah simbol dari rasa syukur rakyat Aceh kepada negara, lembaga-lembaga tinggi negara, relawan, LSM, perusahaan, sipil, dan militer baik nasional maupun internasional yang telah berpartisipasi dalam pembangunan Aceh setelah bencana Tsunami . Selain monumen, rakyat Aceh juga membuat prasasti ucapan terima kasih kepada 53 negara yang telah memberikan kontribusi untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh melalui prasasti persahabatan. Prasasti tersebut diletakkan di sepanjang joggingtrack yang mengelilingi lapangan Blang Padang sepanjang 1 kilometer, plakat tersebut bertuliskan “Thanks You And Peace” dalam berbagai bahasa dunia. Plakat yang berbentuk kapal yang hampir tenggelam dan pada plakat tersebut tertulis nama negara, bendera negara, dan rasa syukur ekspresi ‘Terimakasih dan Damai’ dalam bahasa masing-masing negara.

Selain mental berterima kasih, Aceh seperti tidak punya mental donya yang lain. Setelah 17 tahun tsunami, spirit menjadi seperti donya tidak ada lagi. Setelah sekian belas tahun, kita ternyata semakin terisolasi dengan berbasis pada agama, sehingga kembali mengaburkan spirit sebagai donya. kini, setelah 17 tahun tsunami, ingatan sebagai gampong donya itu harus kembali hadir di Aceh karena Aceh sudah semakin jauh untuk menjadi donya dan cenderung mengekslusifkan diri sebagai bangsa berbasis agama, bukan bangsa berbasis donya. Segala kehidupan, segala kemajuan diukur berdasarkan nalar agama, bukan nalar donya, sehingga kita tidak tahu mencantolkan dan menempatkan di mana segala kemajuan yang ingin dicapai.

Semoga Aceh segera menjadi donya kembali!

Baca Juga

Cermin dan Kehidupan: Melihat Kualitas Diri dalam Setiap Pantulan

Ketika kita berusaha untuk memahami dan menjelaskan tentang dunia luar, kita ternyata justru sedang memproyeksikan keyakinan, pengalaman, dan nilai-nilai yang kita hidupi…. Kita bukan menilai dunia apa adanya, tetapi dunia sebagaimana yang kita yakini. Inilah mungkin, mengapa kita perlu untuk sesekali mencoba melihat dunia dari perspektif orang lain.

Biografi Hamzah Fansuri

Hamzah Fansuri lahir sekitar pertengahan abad ke-15 pada periode akhir Samudra Pasai. Beliau mengenyam pendidikan pada Zawiyah Blang Pria. Kemudian hijrah ke Singkil dan mengajar pada lembaga pendidikan di sana. Tidak lama kemudian, melalui Barus, Hamzah Fansuri bertolak ke Timur Tengah untuk menuntut ilmu. Kembali ke Aceh, Hamzah Fansuri menetap di Fansur yakni Ujong Pancu, Peukan Bada, Aceh Besar.

Ragam Orientasi Bahasa Indonesia (Asal Usul Bahasa Persatuan)

Karya ilmiah Sutan Takdir Alisjahbana seperti Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai  telah menunjukkan tentang bagaimana bahasa Indonesia sangat mampu menjadi sarana penulisan ilmiah. Penulisan ilmiah yang membuktikan kompatibilitas tinggi bahasa Indonesia sebagai sarana penulisan ilmiah selanjutnya juga dapat dilihat dalam karya Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Tulisan ilmiah tentang agama juga ditulis oleh Sutan Takdir Alisjahbana yakni Pemikiran Islam dalam Menghadapi Globalisasi dan Masa Depan Umat Manusia. Karena memang bahasa Indonesia yang dulunya dalam format bahasa Melayu telah digunakan oleh Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, Abdurrauf Al-Singkili, dan lainnya, telah sangat baik menjadi sarana komunikasi literatur agama.

Penyebaran Modern Bahasa Melayu Pasai (Asal Usul Bahasa Persatuan)

Bahasa Melayu Pasai yang telah luas penyebarannya telah menjadi sarana komunikasi efektif dalam menyatukan masyarakat Nusantara. Penguasaan bahasa Melayu Pasai yang sangat luas juga menyebabkan terjadinya penyerapan berbagai kosakata lokal masing-masing. Sehingga membuat bahasa Melayu Pasai itu terus mengalami penyempurnaan sebagai bahasa persatuan.