Kenapa Diogenes Lebih Memilih Ngocok?

Di hadapan orang banyak, Diogenes (412-323 SM) mencekik ‘rudal’ yang lengket di selangkangannya, mengoyangnya naik-turun sampai ejakulasi. Tak jauh dari tempatnya ngocok, murid-murid Socrates seperti Plato dkk sedang berdebat tentang keadilan dan kebenaran di Akademi, sebuah sekolah negeri Yunani. Tanpa harus bertanya, Anda pasti sedang mengakui di dalam hati betapa nistanya Diogenes, dan terpujinya orang-orang terpelajar di Akademi yang masyhur melahirkan filsuf-filsuf hebat. Namun, percayakah Anda jika kukatakan kalau ngocoknya Diogenes lebih bermanfaat ketimbang perdebatan para filsuf?

Ngocok adalah ‘ritual’ yang dilakukan pada saat sedang sendiri, ia dipelajari dari pergaulan atau trial and error semasa puber. Tampaknya jarang sekali ada laki-laki dewasa yang tak pernah ngocok.  Ngocok adalah hal kenakak-kanakan, konyol, dan jadi selingan ejeken “makannya jangan kebanyakan ngocok!” jika ada laki-laki yang cepat lemas. Ritual ngocok-nya filsuf sekelas Diogenes mengangkat harkat dan martabat prosesi yang memiliki kata lain onani itu. Dengan ngocok di keramaian, Diogenes menjejalkan kutukan pada kebanyakan orang, kepada kita semua yang jarang bertanya tentang untuk apa sih sebenarnya segala kehidupan yang kita jalani ini dan apa sih arti perdebatan ini.

Tuntutan pekerjaan yang menumpuk, tagihan kredit yang berseliweran setiap minggu setiap bulan, ambisi untuk menjadi orang hebat, hasrat untuk memiliki segala, belum lagi tentang pertikaian-pertikaian di kampus, di partai politik, di ormas, di rumah ibadah dst yang tak henti membuat kita mual. Tahun dan bulan berganti, tapi kehidupan bagi umat manusia semakin tak ramah. Lambat laun kita belajar bahwa  berharap pada negara, agama, dan para sarjana adalah sebuah harapan yang menjemukan. Kita telah lama pasrah pada cita-cita semasa kecil menjadi astronot, dokter baik hati, presiden, dan segala cita-cita yang mungkin takkan pernah terjadi. Apa solusi yang diberikan Diogenes? Yak, betul sekali! Ngocok di depan Indomaret.

Hal paling ikonik yang dikenal dari Diogenes adalah ketika ia mengusir Alexander the Great dari hadapannya, dengan alasan Sang Penakhluk besar itu menghalangi matahari yang menghangatkan kulit Diogenes. Selebihnya cerita-cerita ‘manusia anjing’ seperti Diogenes adalah kegilaan, sehingga ia dijuluki sebagai ‘the mad Socrates’ (Socrates versi Pungo). Sebuah kegilaan yang sebenarnya adalah kewarasan paling radikal dari manusia.

Aliran filsafat yang lahir dari kegilaan itu dikenal dengan sinisme, sebuah aliran filsafat non-formal yang menolak segala ambisi dan hasrat bawaan manusia. Bahkan, kebahagiaan pun bagi filsafat sinisme jangan-jangan adalah kesia-siaan; orang yang andaikata bahagia dengan mencium hajar al-aswad adalah orang yang barusan menyikut dan mendorong orang lain di seputaran lingkar Ka’bah. Kebahagiaan bisa saja sia-sia karena merugikan orang lain, apalagi ambisi yang tentunya lebih destruktif.

Menjadi manusia adalah beban, hidup menjadi beban bukan karena Adam diciptakan, akan tetapi karena manusia menciptakan sendiri beban-bebannya. Buat apa Socrates, Plato, Aristoteles dkk berdebat soal kebenaran jika toh menikmati hangatnya matahari pagi sudah cukup? Buat apa ada perang, penaklukan, dan pertikaian jika toh ngocok juga melegakan?  Manusia menciptakan pakem, cabang ilmu, hierarki sosial, dan pekerjaan-pekerjaan yang menyita waktu untuk sekadar menikmati indahnya sunset. Aku percaya bahwa filsafat sinisme bukan hanya aliran filsafat biasa, ia adalah jalan hidup. Diogenes persis Lao Tzu, bedanya Lao Tzu menjadi kepercayaan berbentuk agama sedangkan jalan hidup milik Diogenes tidak. Terbentuknya kepercayaan pada jalan hidup Diogenes justru akan berlawanan dengan ajarannya. Diogenes tak butuh apa-apa.

Diogenes pernah mencampakkan cawan minum miliknya, karena ia melihat ada seorang anak kecil yang menciduk air dengan tangan untuk minum. Bayangkan, jika Diogenes hidup di zaman sekarang, mungkin ia lebih memilih membaca wikipedia dan libgen ketimbang belajar menghabiskan waktu di Universitas demi gelar Master or Arts atau Ph.d. Memang sertifikat terpelajar adalah cara untuk ‘ngocok’ secara tersamar. Para Sarjana punya kelihayan dalam hal ‘ngocok’ diam-diam ini.

Banyak kalangan sarjana senang ‘ngocok di hadapan cermin’ menganggumi dirinya sendiri, memuja kecerdasannya yang bukan apa-apa. Mulutnya merancau sambil ‘ngocok’, “Oh betapa pintarnya aku, oh betapa hebatnya aku, oh betapa agungnya aku, betapa bijaknya AKUUUU, oh oh oooh”. Croot!

Di alam sana, Diogenes sedang ngocok. Menertawakan kita semua.

Ilustrasi: motleyturkey.com

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya