Sindrom Intelektual

Beberapa waktu lalu, pada sebuah webinar bertema literasi yang diadakan oleh salah-satu kampus di Subulussalam, diikuti oleh salah-satu akademisi Aceh yang bolak-balik menerbitkan buku, juga esais di media dengan berbagai tema dan mendirikan kursus menulis. Ada hal yang membuat saya nyaris menelan putung rokok saya sendiri, yaitu munculnya ucapan “Orang miskin yang malas baca (berliterasi) adalah orang yang tak tahu diri!” Dari pemateri yang kadar intelektualnya bukan main-main itu. Orang miskin, sudahlah hidup susah, cari makan sulit, disalah-salahkan pula, aih.

Tapi, hei! Bukankah kalangan intelektual adalah para pakar yang punya analisis mendalam dengan metode yang canggih dan omongannya adalah kebenaran belaka? Orang miskin, mana paham.

Mereka para intelektual telah mendermakan uang untuk kuliah, waktu dan tenaga untuk mencecap buku-buku di ruang perpustakaan, titel sarjana yang berderet adalah modal ngopi dengan pejabat. Sekali lagi, orang miskin mana paham!

Eee, tapi apa sih intelektual itu? Edward Said menjawabnya sebagai “Pencipta sebuah bahasa yang mengatakan yang benar kepada yang berkuasa”, atau bahasa keminggrisnya (biar orang miskin tak paham) “who cannot easily be co-opted by governments or corporations, and whose raison d’etre is to represent all those people and issues that are routinely forgotten or swept under the rug.” Saya mengutip beberapa kuotasi ini agar tulisan ini tampak intelek. Jika diperas, Edward Said ingin menyampaikan golongan intelektual itu adalah mereka yang representatif, mereka yang merepresentasikan suara yang tak terdengar, simbol yang tak terjamah, bahasa yang dibisukan terutama oleh pejabat dan orang-orang kaya yang punyai pabrik yang seringkali picing mata soal ketimpangan.

Unsur yang membentuk intelektual yang representatif biasanya hanya ada dua, yaitu emansipasi dan sensivitas. Sensivitas melihat ketimpangan di masyarakat, dan beremansipasi dalam melihat sebab dari ketimpangan itu. Tanpanya, intelektual hanya pemegang jabatan kampus yang gemar onani dengan teori dan mimpi mengontrol kebijakan negara. Mimpi mengontrol kebijakan negara bagi intelektual yang tak representatif sungguh mengada-ada, karena kekuasaan ada pada rezim yang berkuasa pada segala hal termasuk ilmu-pengetahuan. 

Anda bisa bayangkan apa jadinya kalau intelektual yang non-representatif itu bersatu dengan kekuasaan. Saya sering geli ketika ada intelektual yang berdebat selalu mengatakan “Sudah baca buku ini belum?” “Bacaanmu kurang banyak!” Ini mirip dengan gaya pejabat yang mencibir demonstran dengan kalimat “Sudah baca teks asli UU Ominibus Law-nya, belum?” Sungguh, bagi orang miskin yang jarang bertemu dengan buku akan diam dan mengutuk kebodohannya jika jumpa intelektual model begitu.

Mengutuk dan menyudutkan si miskin karena kemiskinannya mari kita serahkan pada para pejabat dan motivator bisnis berbasis zikir. Kerjaan itu ga usah direbut sama kaum intelektual, serakah amat!

Terkait soal si miskin yang malas baca dan tak tahu diri, sebenarnya sejauh apa sih literasi kita membentuk ruang tanpa sekat pada orang-orang kampung yang miskin? Hal ini bisa dijelaskan secara teknis dan matematis, tentang berapa banyaknya perpustakaan kampung di Aceh, semudah apa orang kampung yang miskin tadi mendapat akses buku-buku berkualitas dan baru, semampu apa kita menyediakan bacaan yang sederhana dan dimengerti orang banyak, dan yang paling penting seberapa berani kita mampu menurunkan harga buku-buku yang kita tulis agar dibaca oleh orang miskin?

Papan, sandang, dan pangan adalah prioritas bagi si miskin, persetan beli buku mahal-mahal dan ikut kursus menulis berbayar.

Tapi, mungkin saya terlalu lebay menyikapi kata-kata yang tak seberapa itu. Jangan-jangan memang ada sindrom tertentu bagi kebanyakan intelektual untuk merendahkan kapasitas pengetahuan yang lain, terutama orang kampung yang miskin itu. Hal ini bisa didapat misalnya dengan asumsi dasar, “Ah, mereka kan orang kampung, miskin, mana paham sistem kapitalisme, mana paham soal kebudayaan, mana paham soal ekologi, gak baca buku sih!”

Nah, jika menyangkut soal sindrom intelektual macam begitu, saya angkat tangan. Baiknya mereka tidak usah dimarahi, atau dikasih tahu, cukup dibawa ke psikiater saja. 

Orang miskin, mana paham!

Ilustrasi: protectrite.com

Editor: Khairil Miswar

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya